Oleh : Mukhsin Rizal. S.Hum., M.Ag.,M.Si
FANews.Id | Sembilan belas tahun yang lalu, tepat pada tanggal 14 Oktober 2002, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Bapak Abdullah Puteh menandatangani Qanun Provinsi NAD nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
Kemudian Qanun tersebut diundangkan oleh Sekretaris daerah Provinsi NAD, bapak Thanthawi Ishak pada tanggal 15 Oktober 2002 dan dicatat dalam lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 54 seri E Nomor 15.
Qanun tersebut merupakan Qanun yang lahir setelah lahirnya Peraturan Daerah provinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, dan Qanun provinsi NAD Nomor 10 tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam.
Setelah lahirnnya Qanun 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Disusul dengan lahirnya Qanun 12 tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya, kemudian Qanun 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Qanun 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Meusum).
Qanun 12, 13 dan 14 tahun 2003 kemudian di cabut dan dimasukkan substansi materinya kedalam Qanun 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Pada tulisan kali ini kita tidak membahas kompilasi Qanun tersebut, tetapi akan melihat substansi materi Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
Qanun 11/2002 tersebut sebagai pedoman pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. Pengaturan nya bertujuan untuk membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat serta mencegah dari pengaruh ajaran sesat
Selain membina, tujuan Qanun tersebut juga untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang islami
Qanun tersebut mengamanahkan tanggung jawab untuk membimbing, membina, serta mengawasi masyarakat dari pengaruh paham atau aliran sesat kepada kabupaten/kota dan institusi masyarakat.
Kepada keluarga diamanahkan untuk bertanggungjawab terhadap penanaman Aqidah yang benar.
Sedangkan bentuk-bentuk paham atau aliran yang sesat ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
*Pengamalan Ibadah dan Syi’ar Islam*
Terkait pelaksanaan ibadah, Qanun 11/2002 tersebut memerintahkan seluruh institusi untuk menyediakan fasilitas dan menciptakan suasana yang kondisi untuk beribadah.
Tidak hanya itu larangan untuk menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi/menganggu orang Islam melaksanakan ibadah jum’at juga diatur dan bagi orang Islam laki-laki yang yang tidak melaksanakan sholat jum’at 3 kali berturut turut tanpa uzur syar’i akan dikenakan ancaman hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk paling banyak 3 (tiga) kali.
Muatan substansi Qanun tersebut juga mengatur agar instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha, wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk sholat berjamaah.
Perintah tersebut diperkuat dengan Instruksi Gubernur Provinsi NAD Nomor 06/ INSTR/2002 tentang Pelaksanaan Sholat berjamaah Dilingkungan Kantor/Instansi/Badan/Lembaga/Dinas dalam Provinsi NAD
Selain itu Qanun 11 tersebut juga mengatur tentang larangan kepada setiap orang/badan Usaha untuk tidak menyediakan fasilitas/peluang kepada orang muslim yang tidak uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
Bagi yang melanggar akan dikenakan hukuman cambuk 6(enam) kali dan bagi badan usaha akan dicabut izin usahanya.
Setelahnya Qanun 11 juga mewajibkan kepada masyarakat untuk berbusana islami (pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh), kewajiban tersebut berlaku dan menjadi tanggung jawab pimpinan di instansi, badan usaha atau institusi masyarakat untuk membudayakan busana islami Dilingkungannya masing-masing.
Substansi pengaturan Qanun 11 tahun 2002, sangat humanis dan ini sangat sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Sehingga ruh dan pelaksanaan Qanun tersebut perlu dengan segenap kesadaran dan keikhlasan dilaksanakan secara bertahap oleh semua elemen dan lapisan masyarakat.
Jika pelaksanaan Qanun tersebut berjalan dengan baik maka kita akan mendapatkan kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh sesuai dengan yang diinginkan dan diharapkan.
Perkembangan teknologi dan perkembangan zaman tidaklah menyulutkan semangat masyarakat untuk senantiasa berpegang kepada nilai nilai keagamaan apalagi pada persoalan Aqidah yang memang tidak ada nilai tawar menawar.
Diakhiri tulisan ini saya coba menggambarkan bahwa kelahiran Qanun 11/2002 sudah 19 tahun artinya jika ada seorang anak yang lahir tepat pada tanggal 14 Oktober 2002 maka saat ini dia telah dewasa. artinya perlu adanya kesadaran kita bersama untuk menjaga, memelihara dan membina diri kita, keluarga dan lingkungan kita.
Nilai nilai yang terlahir dalam masyarakat tidak boleh hilang, jika nilai nilai tersebut hilang maka hilanglah identitas masyarakatnya.
Waallahualam bisawab.[]>
~•Penulis adalah Kepala seksi Pembinaan dan Penyuluhan Satpol PP dan WH Aceh~•