Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menandatangani keputusan bersama terkait penyelesaian Aset antara Pemerintah Aceh dengan Pemkot Banda Aceh yang disaksikan oleh Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman (kanan) dan Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto (kiri) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 11/2/2021. (Foto: Humas BPPA).
JAKARTA – Pemerintah Aceh bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh berkomitmen melakukan penyelesaian terhadap delapan aset yang selama ini tumpang tindih antara Provinsi dengan Kota Banda Aceh.
Penyelesaian itu ditandai dengan penandatanganan berita acara kedua belah pihak yang dilakukan oleh Gubernur Aceh Ir Nova Iriansyah MT dan Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman, SE.Ak MM, di Ruang Kolaborasi, Lt 16, Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 11 Februari 2021.
Dari perwakilan KPK ditandatangani oleh Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto dan Direktur Koordinasi dan Supervisi Brigjen Polisi Didik Agung Widjanarko.
Gubernur Aceh menyampaikan terima kasih dan mengapresiasi gagasan KPK dalam mendorong penyelesaian aset tumpang tindih antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kota Banda Aceh.
“Terhadap beberapa aset Pemerintah Aceh yang saat ini tumpang tindih pengelolaannya dengan Pemerintah Kota Banda Aceh, sejak awal saya menilai penting untuk ditertibkan dan dikelola secara baik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Aceh, sebagaimana ketentuan yang berlaku,” kata Nova.
Ia merincikan kedelapan aset tersebut, diantaranya Gedung Banda Aceh Madani Education Center (BMEC), tanah dan bangunan Rumah Budaya, tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah Rumah Dinas Walikota Banda Aceh, tanah Pasar Al Mahirah Lamdingin, tanah bangunan Cold Storage Lampulo, dan Pelabuhan penyeberangan Uleu Lheue. “Untuk percepatan penyelesaiannya, saya telah instruksikan Sekda Aceh untuk melakukan upaya konkrit penyelesaian aset-aset tersebut dengan Pemerintah Kota Banda Aceh,” ujar Nova.
Adapun upaya yang dilakukan tambahnya, telah disampaikannya kepada Walikota Banda Aceh melalui Surat Nomor 118/2338 tanggal 10 Februari 2020 Tentang Tindak Lanjut hasil temuan BPK RI sebagaimana amanat Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.
“Beberapa aset lainnya telah ditindaklanjuti penyelesaiannya melalui rapat, pada 2 Juli 2020 lalu di kantor Gubernur Aceh yang dipimpin oleh Sekda Aceh dan turut dihadiri Sekda Kota Banda Aceh beserta sejumlah pejabat lainnya,” katanya.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa pihak Pemerintah Kota Banda Aceh segera menyampaikan rencana pemanfaatan dan pengelolaan aset tumpang tindih tersebut, namun dalam perkembangannya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Selanjutnya kata Nova, pada 9 Februari 2021 telah dilaksanakan pula pertemuan lanjutan yang dipimpin oleh Sekda Aceh dan turut dihadiri Walikota Banda Aceh berserta Sekda Kota Banda Aceh dan pejabat terkait lainnya.
“Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan akhir, dimana lima dari delapan aset diserahkan kepada Pemerintah Kota Banda Aceh yaitu tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah rumah dinas Walikota Banda Aceh, tanah pasar Al Mahirah Lamdingin dan tanah bangunan cold storage Lampulo,” jelas Nova.
Sedangkan tiga aset lainnya, lanjut seperti Gedung BMEC, Rumah Budaya dan Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue diserahkan kepada Pemerintah Aceh,” kata Gubernur.
Ia menyebutkan, kesepakatan ini telah tertuang dalam Berita Acara. Sehingga Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh telah memperoleh titik temu. Kedua pihak juga telah berkomitmen untuk menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan batas waktu penyelesaian diperkirakan pada akhir Maret mendatang.
Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman, juga mengapresiasi KPK yang sudah berinisiatif menyelenggarakan acara tersebut, karena bisa menengahi diantara kedua belah pihak.
“Sebenarnya tidak ada lagi masalah terhadap aset ini, karena sudah ada rapat sebelumnya. Tapi dengan adanya KPK sebagai mediator penyelesaian, maka kita yakin masalah ini akan segera selesai,” ujarnya.
Aminullah juga mengatakan, dalam rapat yang dihadirinya pada 9 Februari lalu, sudah dirumuskan apa yang mesti dilakukan. Urutannya juga sudah sangat jelas. Namun memang perlu ada pengawasan dari KPK. Begitu pula dengan Gubernur Aceh yang telah menetapkan tim Adhoc antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk penyelesaian masalah tersebut.
“Saya kira kalau sudah ada tim seperti itu, nanti kita menandatangani surat-surat saja untuk bekerja esktra, mengejar waktu satu setengah bulan lagi, insya Allah bisa tuntas,” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto mengatakan, terkait dengan permasalahan aset ini, bagi KPK permasalah aset bukan hanya di Aceh, tapi juga ada di daerah lain di Indonesia.
“Jadi kami coba menengahi, kami tidak mengambil keputusan, tapi kita coba berdiskusi, kami berdiri di tengah untuk mendorong,” katanya.
Menurutnya, aset ini sebenarnya harus dimanfaatkan masyarakat, sementara di tata kelola saat ini administrasinya masih amburadul. Untuk itu, harus dilakukan dari sisi pengamanan aset. “Kita harus pengamanan sertifikasi yang merupakan pengamanan fisik. Karena harus dikelola, dimanfaatkan, yang tujuannya untuk keselamatan aset,” ujarnya.
Rapat koordinasi Penyelesaian Aset Pemerintah Aceh dengan Pemerintah kota Banda Aceh itu turut dihadiri Asisten III Dr. Iskandar, AP, S.SoS, M.Si, Inspektur Ir. Zulkifli, MM, dan Kepala BPKA Bustami, SE, M.Si.[]