FANEWS.ID – Elemen masyarakat sipil Aceh menyerahkan 161 dokumen yang menjadi situs penyiksaan pada masa konflik selama periode 1989-2005 ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Rabu (26/6).
Sebanyak 161 dokumen situs penyiksaan masa konflik itu dikumpulkan elemen masyarakat sipil Kontras Aceh, PASKA Aceh, Asia Justice and Rights (AJAR), dan LBH Banda Aceh.
Data itu diserahkan kepada KKR Aceh sebagai submisi untuk ditindaklanjuti dalam kerja-kerja pengungkapan kebenaran atas peritiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Wakil Koordinator KontraS Aceh, Fuadi Mardhatillah, mengungkapkan titik-titik situs penyiksaan tersebut diduga terjadi sejak Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), pada tahun 1989 hingga 2005.
“Harapannya laporan ini bagian dari pengungkapan kebenaran, banyak kebenaran di Aceh yang belum terungkap. Ingatan ini dirawat bukan untuk mengukir luka tapi untuk pembelajaran sejarah bagi kita,” kata Fuadi.
Adapun 161 situs-situs itu tersebar di 12 kabupaten/kota yakni Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Timur, Bireuen, Banda Aceh, Lhokseumawe, Aceh Jaya, Aceh Barat, Bener Meriah, dan Aceh Tengah.
Sementara, Manajer Program AJAR Indonesia, Mulki Makmun, mengatakan 161 data penyiksaan masa lalu itu masih sangat minimal lantaran sangat banyak lokasi-lokasi yang masih butuh diverifikasi dan diteliti lebih lanjut.
Selain itu, 161 data yang diserahkan ke KKR Aceh ini juga bersifat rahasia, berbeda dengan dokumen tertera di peta digital sebelumnya.
Mulki mengungkapkan, pada 161 situs-situs tersebut diduga terjadi berbagai penyiksaan fisik hingga penyiksaan mental saat konflik Aceh masa lalu.
“Dan yang kami temukan juga terjadi penyiksaan seksual. Di beberapa titik di pesisir timur Aceh elemen penyiksaan seksual juga muncul. Baik terhadap perempuan maupun laki-laki,” ungkapnya.
Ia berharap, kejadian-kejadian serupa tidak lagi terjadi di Aceh, baik itu konflik berulang atau penyiksaan baik di wilayah privasi maupun wilayah publik.
“Dan kami harapkan dengan submisi situs penyiksaan ini ada ruang pendidikan publik atau kami bilangnya memorialisasi yang itu memiliki ruang partisipasi publik dalam pelaksanaannya sehingga para korban memiliki unsur kepuasan pada saat memorialisasi itu dibangun,” pungkasnya. (red/habaaceh)