FANEWS.ID – Banjir melanda Aceh Tamiang sebanyak dua kali dalam skala sedang dan besar di penghujung tahun 2023. Pertama, banjir air bah terjadi di Kampung Rongoh, Kecamatan Tamiang Hulu dan Kampung Alur Mentawak, Kecamatan Kejuruan Muda pada 28 November 2023.
Air bah yang turun dari perbukitan kala itu merubuhkan satu jembatan dan meluluhlantakan gedung SDN Mentawak. Pagar sekolah ambruk dan ratusan eksemplar buku hancur terendam.
Kemudian banjir luapan sungai merendam hampir seluruh wilayah Aceh Tamiang bertepatan dengan libur perayaan Hari Natal, 25 Desember 2023. Banjir skala besar tersebut tidak hanya merendam permukiman penduduk, tapi memutus akses jalan dan membuat tanggul sungai jebol di beberapa titik.
Pemerintah daerah (Pemda) setempat bahkan sampai menggelar rapat darurat banjir bersama BPBD dan stakeholder terkait lainnya. Rapat mendadak darurat banjir hari kedua itu khusus membahas penanganan bencana banjir yang merendam sepuluh dari 12 kecamatan di Aceh Tamiang.
Banjir pun masih bertahan merendam sebagian wilayah tengah dan pesisir Aceh Tamiang hingga hari ini, Minggu (31/12). Tak ayal, intensitas curah hujan tinggi dijadikan ‘kambing hitam’ sumber masalah banjir. Namun disayangkan, statemen yang beredar justru seolah-olah hujan satu-satunya faktor penyebab musibah banjir.
Padahal di balik rutinitas banjir tahunan di Aceh Tamiang ada persoalan besar yang tak pernah usai terkait masalah perusakan lingkungan dan alih fungsi kawasan hutan.
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), Sayed Zainal membeberkan, penyebab banjir yang utama adalah aksi perambahan hutan masih berjalan hingga sekarang. Salah satu titik pembalakan liar terjadi di lokasi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh Timur (Simpang Jernih-Pante Bidari) dengan memanfaatkan jalur distribusi kayu dari daerah aliran sungai (DAS) Sungai Kanan Aceh Tamiang.
“Harusnya aksi pembalakan liar melalui jalur sungai tersebut diketahui oleh APH berwenang yang memiliki tugas pengawasan seperti Resor Polisi Hutan (RPH),” beber Sayed dalam perbincangan
Di sisi lain, LembAHtari sangat prihatin dengan perusakan dan kerusakan hutan alam di wilayah Sungai Kiri Aceh Tamiang atau sekitar sungai Sikundur perbatasan, antara Tenggulun dengan Bukit Mas Besitang, terutama di daerah-daerah sungai Besitang Kecil dan Besar.
Praktik perambahan illegal loging bahkan sudah berada dalam kawasan lindung (KEL) arah sungai Gregas Air Panas di kaki Gunung Gua Bukit Kapal.
“Dari situ distribusi kayu olahan chainsaw menggunakan jalur darat di waktu-waktu tertentu,” ungkap Sayed Zainal.
Aktivis lingkungan ini menyarankan, saatnya Pemerintah Aceh membuat tim terpadu untuk pemberantasan perambahan dan alih fungsi hutan serta pembalakan liar yang dari semua unsur Gakkum terdiri dari BB-TNGL, Dinas LHK Aceh/KPH Wilayah 3 dan APH dengan payung hukum SK dari Gubernur Aceh.
“Langkah ini perlu agar lajunya kerusakan dan perusakan hutan minimal bisa dikurangi, termasuk alih fungsi lahan untuk membangun kebun kelapa sawit juga harus dihentikan,” tegas Sayed.
Menurutnya saran dan pendapat LembAHtari berkaitan dengan penegakan hukum tim terpadu tersebut, bisa menjadi solusi mengatasi banjir yang setiap tahun rutin melanda Aceh Tamiang. Diakuinya tingginya curah hujan yang merata di wilayah Aceh Tamiang, Aceh Timur dan Gayo Lues hingga Kabupaten Langkat, Sumatera Utara menyebabkan bencana banjir tak terelakkan di empat daerah tetangga tersebut.
“Jadi jangan salahkan hujan, iklim hujan itu hanya pemicu saja, tapi penyebab utamanya, yaitu kerusakan dan perusakan lingkungan di kawasan hutan disebebkan oleh perbuatan manusia terus berlangsung tidak ada penghentian. Itu yang menjadi sebab dan akibat, bukan karena hujan. Kalau hujan disalahkan kita sudah menentang takdir yang ditetapkan Allah SWT,” ungkapnya.
Untuk itu, kata Sayed diperlukan kebijakan dan keputusan strategis dari masing-masing kepala daerah antara lain setop alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan sawit yang dilakukan secara liar dan illegal.
Dia merincikan, khusus di Aceh Tamiang alih fungsi hutan terjadi di beberapa wilayah yakni Sikundur Tenggulun perbatasan dengan Langkat, Tamiang Hulu perbatasan dengan Lesten Gayo Lues wilayah Bukit Tiga Kilo. Kemudian Kemukiman Simpang Jernih Aceh Timur seperti di wilayah Bukit Sangkapane, Bandar Pusaka dan kawasan hutan Krueng Sikajang Manyak Payed perbatasan degan Aceh Timur dan Langsa.
“Perlu pembentukan tim terpadu yang diketuai Pj Bupati Aceh Tamiang lakukan inventarisasi ulang pendataan pelaku pembukaan kebun sawit liar illegal. Kemudian hasil lapangan diserahkan kepada Pj Bupati untuk dievaluasi dan bahan kajian,” saran aktivis senior tersebut.
Anggota TKPSDA Aceh Wilayah Sungai (WS) Aceh Tamiang-Langsa Bidang Daya Rusak Air ini juga menyoroti kondisi DAS Aceh Tamiang sangat kritis dan perlu dilakukan pemulihan dengan cara pengerukan. Pasalnya kondisi muara sungai Aceh Tamiang sudah dangkal berada di dua kuala wilayah Bendahara.
Menurutnya pengerukan dua kuala tersebut yakni, Kuala Peunaga dan Kuala Tanjung Genting merupakan langkah tepat agar arus luapan sungai menjadi lancar.
“Sungai kita tertutup endapan pasir di dua kuala tersebut, jadi harus dilakukan pengerukan untuk mengurangi beban sendimentasi,” sebutnya.
LSM LembAHtari juga mempertanyakan di tingkat provinsi sudah ada kajian penanggulan banjir untuk Aceh Tamiang dan Aceh Timur yang disusun oleh Tim Kampus USK Banda Aceh, tapi sampai saat ini belum ada ekspose hasil kajian tersebut.
“Perlu penguatan tindak lanjut pengerukan sedimentasi muara sungai Aceh Tamiang, sehingga menjadi kajian dan perencanaan yang menyeluruh dan berkelanjutan,” pungkas Alumnus Sarjana Hukum USK tersebut.(red/habaaceh)