FANEWS.ID – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) kembali menjadi buah bibir di media sosial dalam sepekan terakhir. Bukan karena prestasinya, direktorat yang dipimpin oleh Askolani itu, justru mendapat beberapa komplain atau keluhan dari masyarakat terhadap kinerjanya.
Dalam catatan Tirto, setidaknya terdapat tiga keluhan masyarakat terhadap Bea Cukai yang viral di media sosial. Pertama, soal keluhan pembelian sepatu olahraga impor yang dilakukan Radhika Aktaf. Awalnya, ia membeli sepatu seharga Rp10,3 juta melalui perusahaan jasa titipan (PJT), DHL dengan biaya pengiriman Rp1,2 juta. Namun, ia justru harus membayar bea masuk sebesar Rp31,8 juta.
Kedua, mengenai alat pembelajaran siswa tunanetra untuk SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta yang ditagih Bea Cukai hingga ratusan juta. Bea Cukai awalnya meminta sejumlah data untuk memenuhi persyaratan pembebasan bea masuk dan pajak.
Dalam hal ini, pihak sekolah terkait diminta melengkapi sejumlah dokumen, termasuk ditagih ratusan juta untuk barang tersebut. Penagihan bea masuk tersebut dilakukan sebelum diketahui bahwa status barang tersebut adalah barang hibah.
Ketiga, mengenai mainan untuk review milik influencer yang tertahan di Bea Cukai. Konten Kreator khusus produk mainan, Medy Renaldy, kecewa karena produk yang akan di review-nya tertahan di Bea Cukai hampir dua pekan. Hal itu diungkapkan langsung melalui akun X pribadinya @medyrenaldy_.
Dalam cuitannya, Medy mengunggah produk yang dikirim dari luar negeri tertahan di Bea Cukai. Robot Transformers Megatron Auto-Converting Robot Flagship yang dikirim belum tiba. Padahal produk Megatron Robosen itu sudah dikirim dari Hong Kong pada 15 April 2024.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, mengatakan keluhan masyarakat sangat bisa dipahami. Terlebih layanan bea cukai sangat berkaitan dengan aktivitas ekonomi masyarakat Indonesia, terutama dari sisi perdagangan lintas batas.
“Dan saya kira, keluhan yang sempat viral tersebut hanya puncak gunung es dari berbagai kekurangan bea cukai dalam memberikan pelayanan selama ini,” ujar dia kepada Tirto, Senin (21/4/2024).
Ketidakpercayaan Publik
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan, jika telisik masalah ini lebih mendalam, ada isu ketidakpercayaan publik terhadap institusi DJBC. Karena jika melihat secara jernih, dari beberapa kasus yang ramai kemarin, sesungguhnya tidak dapat dijustifikasi bahwa pihak DJBC sebagai pihak yang melakukan kesalahan.
“Kenyataanya, para petugas DJBC telah melakukan prosedur yang semestinya dilakukan,” ujar dia kepada reporter Tirto, Senin (29/4/2024).
Akan tetapi, kata Fajry, karena ketidakpercayaan publik terhadap DJBC, publik langsung menyalahkan DJBC tanpa melihat duduk permasalahan maupun prosedural yang semestinya dilakukan.
Misalnya terkait kasus under invoice dalam impor sepatu, pemberian sanksi oleh DJBC sebetulnya sudah sesuai dengan aturan termasuk besaran sanksi yang dikenakan. Sedangkan dasar pengenaan sanksi juga valid, yakni perbedaan antara nilai yang sebenarnya dan yang dilaporkan.
Kedua, kasus impor alat pendidikan tunanetra untuk SLB, ada syarat yang tidak dipenuhi oleh importir dalam hal ini Yayasan SLB, untuk mendapatkan fasilitas pembebasan kepabeanan sehingga atas barang impor tersebut masih ditahan oleh BC.
“Ini juga sudah sesuai aturan yang ada,” ucap dia.
Jika menilik historisnya, lanjut Fajry, titik balik ketidakpercayaan pada institusi DJBC adalah kasus Eks Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono (AP), Kepala Bea-Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto (ED), yang ditangkap KPB beberapa waktu lalu. Terlihat beberapa komentar di sosmed yang nyinyir seakan-akan uang PDRI yang besar digunakan untuk korupsi, digunakan untuk memperkaya pegawai, dan sebagainya.
“Jika saya perhatikan, isu kepabeanan tidak pernah sesensitif ini namun berubah menjadi isu yang sangat mudah digulirkan semenjak kasus AP dan ED,” ujar dia.
Jadi Momentum Pembenahan
Bagi pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, munculnya keluhan-keluhan seperti ini tentu harus dijadikan momen pembenahan, baik secara internal maupun secara pelayanan. Sebab, kata Ronny P Sasmita, pelayanan yang kurang baik adalah gambaran dari kondisi internal yang juga kurang baik.
“Jadi pembenahan tata kelola atau governance dari bea cukai adalah kunci utama sebelum melakukan perbaikan pelayanan,” ujar Ronny.
Kemenkeu, kata dia, harus mendalami sebab-sebab terjadinya kelalaian semacam itu. Harus diidentifikasi akar persoalan kesalahan dalam menginput nilai pengenaan bea cukai yang kurang tepat atau terlalu berlebihan. Apakah dalam hal ini terjadi karena human error, kesengajaan, atau karena memang aparat bea cukai yang kerja secara asal-asalan.
“Tidak menutup kemungkinan terjadi pergantian pucuk pimpinan di Bea Cukai, dengan mendudukkan sosok yang lebih mampu melakukan reformasi birokrasi di tubuh institusi direktorat Bea dan Cukai kita,” beber dia.
Karena bagaimanapun, lanjut Ronny, Bea Cukai adalah salah satu ujung tombak Indonesia dalam hal perdagangan dan pergerakan barang lintas batas. Ketidakberesan pelayanan bea cukai bisa berimbas kepada ekonomi dari sisi perdagangan. Layanan Bea Cukai yang buruk, dikhawatirkan bisa menjadi salah satu sebab memburuknya eksposur perdagangan internasional atau ekspor-impor RI.
“Jadi momen kali ini harus menjadi momen pembenahan secara serius oleh Kemenkeu di satu sisi dan sebaiknya juga menjadi salah satu ajang bagi Sri Mulyani untuk meninggalkan legasi reformasi birokrasi di Dirjen Bea Cukai,” ujar dia.
Untuk itu, dia meminta pengawasan kinerja harus diperbaiki. Standar etika kinerja juga harus ditingkatkan, dan partisipasi publik dalam mengawasi kinerja dipermudah. Sehingga Bea Cukai tidak perlu menunggu viral di media sosial terlebih dahulu untuk mendapatkan feedback.
Sementara itu, Fajry Akbar mengatakan, pekerjaan utama Kemenkeu adalah membangun kembali kepercayaan publik. Menurut dia, ini pekerjaan yang berat sekali, butuh komitmen mendalam. Kendati Kemenkeu sendiri sebenarnya punya pengalaman dalam mengembalikan kepercayaan publik, yakni mengembalikan kepercayaan publik pada otoritas pajak pasca kasus gayus tambunan.
“Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki pelayanan. Dengan perbaikan pelayanan, masyarakat sendiri yang akan langsung merasakan perbaikan. Petugas BC harus proaktif dalam memberikan pelayanan. Kalau ada persyaratan yang belum dipenuhi, petugas ikut membantu,” ujar Fajry.
Kedua, Kemenkeu juga perlu melakukan pengawasan internal. Kasus AP dan ED malah diketahui lebih dahulu oleh publik. Jangan sampai publik tahu lebih dahulu dibandingkan pengawasan internal.
Ketiga, kata dia, dari regulasi dan administrasi, sekiranya DJBC perlu melakukan benchmarking untuk menetapkan best practice kebijakan BC. Jadi, DJBC dapat mencontoh praktik di negara lain terkait administrasi dan regulasi kepabeanan. Terutama, regulasi dan administrasi terkait penumpang, barang bawaan misalnya. (tirto/red)