FA NEWS.ID – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap beberapa efek nyata pemanasan global, termasuk bencana yang makin sering.
Hal itu terungkap dalam puncak peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-73 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Sumatera Barat, Senin (20/3), dikutip dari situs BMKG.
Salah satu tokoh yang gemar menyebut perubahan iklim sebagai hoaks adalah mantan Presiden AS Donald Trump.
Hal itu diungkapkannya dalam wawancara dengan CBS News pada 2018. Keesokan harinya, presiden mengulangi gagasan ini selama pengarahan tentang Badai Michael.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengungkapkan data-data ilmiah menunjukkan buktinya.
BMKG mencatat 2016 merupakan tahun terpanas untuk Indonesia, dengan nilai anomali sebesar 0,8 °C dalam periode pengamatan 1981 hingga 2020.
Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,7 °C, dan 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,6 °C.
Sebagai perbandingan, suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) dalam State of the Climate 2022 menyebutkan bahwa tahun 2022 menempati peringkat keenam tahun terpanas dunia.
Tahun 2015-2022 menjadi 8 tahun terpanas dalam catatan WMO.
Laporan yang sama menyebut 2016 merupakan tahun dengan suhu global terpanas sepanjang catatan WMO dengan anomali sebesar 1,2°C terhadap periode revolusi industri.
“Kondisi terpanas itu dipicu oleh tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh kejadian anomali iklim El Nino,” menurut catatan BMKG.
Dwikorita menyebut kondisi ini mengakibatkan lebih cepat mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Awalnya, luasan salju abadi sekitar 200 km persegi.
“Kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1 persen saja,” ucapnya.
Dwikorita mengatakan akibat perubahan iklim itu kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir.
Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50 – 100 tahun, kini rentangnya menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.
“Contoh nyata di Indonesia adalah kemunculan siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 lalu,” ujarnya.
“Padahal fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi,” lanjut Dwikorita.
Yang terbaru, lanjutnya, adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Natuna yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia.
“Jika situasi ini terus berlanjut, maka Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil namun juga korban jiwa,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG Dodo Gunawan mengatakan bahwa dampak perubahan iklim tidak hanya sebatas cuaca ekstrem, mencairnya salju di gunung, krisis air bersih, atau meningkatnya wabah penyakit.
“Intensitas bencana alam akan semakin sering terjadi. Sedangkan bencana alam itu sendiri erat kaitannya dengan kemiskinan. Tidak sedikit rumah tangga yang jatuh ke lingkaran kemiskinan akibat bencana alam.”
“Apabila kondisi ini terus dibiarkan terjadi, bukan tidak mungkin tujuan mencapai Indonesia bebas dari kemiskinan semakin jauh,” tandas dia. (*)
Sumber : cnn indonesia