Nikmati berita Interaktif Dan Live Siber Report 24 jam Fanews.co Gen Z
Download
Berita News terviral

Cherrypop 2024: Inkubator Kreativitas dan Penjaga Warisan Musik

Oleh : AR Lubis    Editor : Redaksi    Senin, 19 Agustus 2024 - 03:38 WIB    Banda Aceh

Bagikan informasi Beritanya Via :
Bagikan informasi Beritanya Via :

0:00

FANEWS.ID – Malam itu, Lapangan Panahan Kenari di Yogyakarta dipenuhi oleh ribuan manusia yang menyatu dalam riuh rendah musik dan gemerlap cahaya panggung. Cherrypop yang ketiga kalinya baru saja dimulai, dan festival ini tampak lebih hidup dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan tema “Selamet Bermusik” Cherrypop tahun ini tak hanya menjadi ajang perayaan musik, tapi juga menjadi inkubator kreativitas dan kolaborasi para musisi, seniman, dan penikmatnya.

Jauh dari kerumunan, dari lapangan parkir sudah terdengar suara-suara euforia konser. Festival hari itu seperti jantung yang berdenyut di tengah-tengah skena musik Yogyakarta. Di panggung utama Cherry Stage, FSTVLST dengan penuh semangat membawakan lagu-lagu dari album legendaris mereka, Hits Kitsch. Setiap nada dan lirik mengalir dengan begitu familiar di telinga penonton, seolah-olah mereka sedang menghidupkan kembali memori sepuluh tahun yang lalu, saat album ini pertama kali dirilis. Di tengah kerumunan, mengamati mereka menyanyi, menari dan saling bercengkerama, membuat saya berkata dalam hati bahwa ternyata ini bukan hanya sekadar konser, tapi sebuah carousel waktu ke masa lalu.

Sementara itu, di sudut lain festival, ada sebuah area yang ramai dikunjungi, yaitu stand Rekam Skena. Saya tertarik masuk. Di sini, arsip-arsip bersejarah tentang perjalanan musik Yogyakarta dipamerkan. Karya-karya visual, foto, hingga teks dari berbagai era, tersusun rapi sebagai penghormatan terhadap warisan musik lokal.

Rekam Skena menarik perhatian para penikmat musik yang ingin mengeksplorasi lebih dalam sejarah dan perkembangan musik lokal Yogyakarta dan daerah lain. Bagi mereka yang mungkin tidak pernah mengalami langsung era awal kebangkitan musik independen di Yogyakarta seperti saya, stand ini menjadi jendela yang membuka pandangan terhadap perjalanan panjang skena musik.

Baca Juga Artikel Beritanya:  Menkominfo: Dinamika Pilkada Jangan Munculkan Disinformasi

Saya bertemu Dimas Toti, salah satu penonton yang datang bersama teman-temannya dari Madiun. Dimas nampak mengamati pameran arsip yang digelar di dalam Rekam Skena. Ia sengaja datang untuk mengincar penampilan The Jeblogs di hari pertama, dan The Adams di hari kedua. Menurutnya, selain menjadi referensi dan inspirasi bermusik, gerakan mendokumentasikan perjalanan musik di Jogja ini menjadi hal penting.

“Aku dari kota kecil jadi punya referensi-referensi band buat didengerin, dan bisa jadi inspirasi buat bermusik,” tuturnya saat saya temui di tengah-tengah penampilan Risky Summerbee & The Honeythief di panggung Cherry Stage.

Pada waktu yang sama, di panggung Nanaba Stage, ada band lawas ERWE. Mereka membawa nuansa segar sekaligus nostalgia. ERWE, yang telah memutuskan untuk bubar setelah merilis album terakhirnya, tampil reuni di Cherrypop. Penampilan mereka seakan menjadi penutup manis bagi perjalanan band ini.

Pameran Rekam Skena yang menggandeng Pehagengsi kali ini, juga mengadakan sesi diskusi terkait pendokumentasian musik. Rifqi Mansur Maya, project director Pehagengsi mengatakan bahwa pengarsipan menjadi program yang penting. Selain merekam skena musik Jogja, Rekam Skena di 2023 juga membuat film di empat kota satelit, Banyumas, Banjarnegara, Purwokerto, Purbalingga dan Cilacap.

“Ini adalah sebuah ikhtiar untuk mendokumentasikan kultur musik di sebuah kota pada periode tertentu,” kata Rifqi saat diwawancarai di luar festival.

Baca Juga Artikel Beritanya:  KPU dan Bawaslu Siap Mulai Tahapan Pemilu dan Pilkada 2024

Dalam Rekam Skena pertama pada 2022 itu, Cherrypop bersama Anggun Priambodo dan Alvin Yunanta itu mengarsipkan kultur musik yang ada di Jogja melalui lima film. Masing-masing dikategorikan berdasarkan genre. Dengan gerakan semacam ini, Rifqi juga berharap publik mulai sadar untuk mendokumentasikan setiap momen penting sebagai sebuah arsip yang berguna di masa depan.

“Harapan kami, buat teman-teman yang sempat datang ke pamerannya atau mengikuti aktivasi talkshow-nya, kami harap teman-teman jangan mengandalkan program Rekam Skena untuk membuat dokumentasi arsip kelompok atau skena kalian sendiri,” kata dia.

Medium Obrolan antar Generasi

Di tengah penampilan The Sigit, saya melipir ke Record Store yang dipadati para penikmat musik yang antusias berburu koleksi terbaru atau kenang-kenangan dari musisi favorit mereka. Suasana hangat dan akrab terasa di seluruh area. Di sudut tertentu, musisi-musisi lokal berbagi cerita dalam sesi diskusi, sementara di sisi lain, beberapa dari mereka sedang menandatangani vinyl yang dibawa oleh para penggemar.

Saya berjalan di antara keramaian, tertarik untuk melihat-lihat di stand CD yang menampilkan berbagai macam genre dan artis, mulai dari musisi lokal hingga internasional. Ketika sedang membolak-balik tumpukan CD, perhatian saya tertuju pada seorang ibu dan anak laki-lakinya yang sedang asyik berdiskusi di samping saya. Sepintas saya mendengar mereka tampak antusias membicarakan lagu-lagu lawas macam Chrisye.

Mendengar percakapan mereka, saya tertarik untuk mengenal lebih jauh. Saya memperkenalkan diri dan mengobrol dengan mereka. Ibu itu, yang bernama Ayu Mitha Radila, menceritakan bagaimana musik menjadi salah satu jembatan penghubung antara dirinya dan putranya, Kelana Semesta.

Baca Juga Artikel Beritanya:  Khawatir Ada Suap Saat Praperadilan, Keluarga Pegi Datangi KPK

Percakapan saya dengan Ayu dan Lana berlanjut tentang bagaimana musik bisa menjadi penghubung antara generasi. “Laguku juga lagunya dia, lagu dia juga laguku, jadi ada obrolan antar generasi. Musik jadi media obrolan antar generasi karena bahasanya kan sangat universal,” kata Ayu.

Lana, yang saat itu berusia 11 tahun, bercerita bahwa dia datang ke Cherrypop ingin menonton Sajama Cut. Anak itu membeli satu CD Linkin Park dan Bon Jovi. Ia juga memamerkan kaos bertanda-tangan para member Sajama Cut, musisi favoritnya. Momen itu menjadi kenangan yang akan ia bawa pulang ke rumahnya di Solo.

Setelah obrolan kami selesai, saya pamit untuk melanjutkan penelusuran di Cherry Store. Namun, percakapan singkat dengan Ayu dan Lana meninggalkan kesan mendalam.

Di tengah-tengah hiruk-pikuk festival yang merayakan musik, saya melihat bagaimana musik bisa menjadi jembatan yang kuat, menghubungkan dua generasi, dan menghadirkan kenangan yang tak ternilai harganya. Cherrypop memang lebih dari sekadar festival; ia adalah ruang di mana musik menjadi medium untuk saling memahami, mengenal, dan berbagi antara generasi.

“Aku sebenernya agak penasaran ketika festival itu menawarkan talent-talent baru daripada reunion. Karena talent baru ini loh yang mungkin cukup sulit untuk mencari panggung,” tutur Ayu.(red/tirto)

Baca Juga

Daerah

Kemendagri Uraikan Kronologi Lengkap Status Administrasi Empat Pulau Aceh–Sumut

Nasional

Garuda Indonesia, Berawal Bantuan Rakyat Aceh Siap Terbang Lagi

Nasional

KPT Mengambil Sumpah 49 Advokat dari Peradi ; PT BNA Tidak Memungut Biaya Apapun Untuk Pengambilan Sumpah Advokat kecuali PNBP sebesar Sepuluh Ribu Rupiah

Nasional

Bahlil Sebut Raja Jawa, Istana: Silakan Tafsirkan Masing-masing

Nasional

Badan Gizi Nasional akan Sekantor dengan Bapanas untuk Sementara

Nasional

Digelar 10 Februari; Tiga Pasang Capres/Cawapres Siap Hadir di Deklarasi Kemerdekaan Pers
Jelang Akhir Jabatan, Jokowi Bentuk Badan Gizi Nasional

Nasional

Jelang Akhir Jabatan, Jokowi Bentuk Badan Gizi Nasional

Nasional

Puncak Peringatan HPN 2024, Ketua MPR RI Bamsoet Apresiasi Ditandatanganinya Perpres Hak Cipta Penerbit