FANEWS.ID – Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) akan segera berganti. Marsekal Fadjar Prasetyo akan memasuki masa pensiun pada 7 April 2024 mendatang.
Dalam kepemimpinan Fadjar, ada beberapa momen yang sempat menjadi sorotan publik, salah satunya kecelakaan pesawat Super Tucano yang menewaskan 4 prajurit TNI AU Lanud Abdulrahman Saleh pada 19 November 2023.
Selain kejadian pilu, TNI AU berhasil membantu pelaksanaan SAR maskapai Semuwa Aviasi Mandiri (SAM) AIR pada Rabu 26 Juni 2023, yang tiga hari sebelumnya jatuh di perbukitan di Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan.
Di era kepemimpinan Fadjar, juga ada beberapa alutsista baru seperti pesawat angkut berat C-130J-30 Super Hercules, 8 helicopter angkut berat H-225M, hingga rencana pengadaan F-15EX maupun pesawat Rafale untuk kepentingan TNI AU mendatang.
Lantas apa pekerjaan rumah KSAU baru dan siapa yang layak?
Menurut analis pertahanan dari Semar Sentinel Indonesia, Fauzan Malufti, tantangan KSAU mendatang cukup banyak. Salah satunya, kata dia, TNI AU bersama matra lain dan Kemhan harus menyusun postur pertahanan usai Minimum Essentials Force (MEF) selesai di tahun 2024.
Kemudian perkembangan geopolitik, terutama Indo-Pasifik dan kemajuan teknologi pertahanan harus diikuti dengan cermat agar modernisasi TNI AU bisa memenuhi kebutuhan tantangan masa depan.
“Tantangan lainnya masalah SDM. Bagaimana TNI AU yang sarat akan teknologi tinggi harus bisa mencari SDM yang cukup secara kualitas maupun kuantitas, untuk mengawaki berbagai alutsista baru yang sedang dan akan dibeli. Mulai dari mencari pilot baru, teknisi baru, operator radar baru, dan sebagainya,” kata Fauzan, Senin (18/3/2024).
Fauzan juga menilai masalah akuntabilitas dan transparansi bisa menjadi tantangan tersendiri. Menurutnya, TNI AU bersama pemangku kepentingan pertahanan lainnya mesti meyakinkan publik bahwa modernisasi dan kenaikkan anggaran pertahanan penting dan harus dilakukan.
Namun saat ditanya siapa yang pantas menggantikan Fadjar Prasetyo, Fauzan belum bisa menjawab.
Ia hanya menilai pejabat ideal adalah orang yang sudah berpengalaman menduduki jabatan strategis, termasuk posisi-posisi yang memungkinkannya berkoordinasi dengan satuan-satuan AL dan AU di level nasional.
Namun, menurutnya, kedekatan dengan presiden, dalam hal ini Jokowi, akan mendapat nilai tambah.
“Kedekatan dengan presiden juga kemungkinan besar akan memainkan peran penting karena bagaimanapun presiden, tidak hanya Pak Jokowi, tapi juga pendahulu-pendahulunya, cenderung lebih nyaman memberikan jabatan strategis militer ataupun sipil kepada seseorang yang memang ia sudah kenal,” kata Fauzan.
Sementara Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi, menilai pemilihan KSAU harus sosok yang layak dan kompeten. Pasalnya, KSAU terpilih harus mampu menyelesaikan masalah di TNI AU.
“Sosok Kepala Staf TNI AU yang benar-benar layak dan kompeten tentu dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan menjawab tantangan ke depan,” kata Fahmi, Senin (18/3/2024).
Fahmi menilai ada beberapa poin yang menjadi pekerjaan rumah KSAU mendatang.
Pertama, KSAU harus memperhatikan tiga aspek pembangunan kekuatan udara, antara lain masalah organisasi, teknologi, dan kesiapan operasi.
Dari segi organisasi, KSAU harus membuat TNI AU sesuai dalam menghadapi ancaman dengan melihat kondisi geopolitik dan geostrategis serta mampu menjawab tantangan.
Dari segi teknologi, KSAU baru tidak hanya harus mampu menyediakan alutsista modern, tapi siap tempur, punya efek deteren dan berfungsi dalam beragam situasi. Hal itu tidak hanya untuk pesawat tempur, tapi juga pesawat angkut, artileri pertahanan udara, hingga sistem radar.
Kemudian, KSAU baru harus bisa meningkatkan kemampuan SDM dalam strategi operasi, siap siaga dalam potensi pertempuran hingga penggunaan dan pemeliharaan alutsista. Alutsista harus dipastikan dalam kondisi terawat dan siap tempur.
Di sisi lain, KSAU baru harus sadar bahwa masalah kekuatan udara semakin penting pascaperang Rusia-Ukraina.
“Perang Rusia-Ukraina menunjukkan betapa pentingnya dominasi kekuatan udara, baik melibatkan pesawat berawak, tak berawak, berbagai varian alutsista udara dengan persenjataannya, dan tak kalah pentingnya kemampuan pertahanan dan pengendalian pangkalan,” kata Fahmi.
Ia menambahkan, bagi Indonesia, kekuatan udara nasional berperan penting menjaga kedaulatan NKRI di udara. Dengan keberadaan pesawat tempur andal, TNI AU akan disegani di kawasan.
Dalam konteks postur pertahanan udara Indonesia, tambahnya, belanja Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (alpalhankam)-alutsista harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan upaya meningkatkan kemampuan TNI AU.
Karena itu, harus selalu dipastikan bahwa usulan-usulan belanja TNI AU benar-benar berbasis kebutuhan bukan sekadar keinginan.
Menurut Fahmi, belanja itu juga harus menjadi bagian dari upaya membangun supremasi dan superioritas udara sebagai variabel penting untuk meningkatkan kewibawaan, bargaining position, dan mengamankan arah kepentingan nasional Indonesia agar tetap terjaga.
Jadi, walaupun kapasitas kekuatan udara saat ini masih kalah dari Australia dan Singapura, setidaknya upaya Indonesia untuk menjadi stabilisator kawasan sudah akan berjalan di jalur yang tepat.
Di sisi lain, ungkap Fahmi, kekuatan Indonesia masih belum memadai untuk menjaga ruang udara Indonesia. Capaian minimun essentials force TNI AU baru mendekati 50 persen, masih tertinggal dibanding matra lain.(tirto/red)