FANEWS.ID – Sebulan ke belakang, terjadi beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang membuat ramai jagat maya. Yang menjadi sorotan, kasus kekerasan ini tidak terjadi sekali, tapi berulang di tempat yang berbeda. Mirisnya, pelaku kekerasan juga merupakan teman sebaya dan sempat terjadi di lingkup satuan pendidikan.
Seperti kasus perundungan yang terjadi pada siswa SMP di Cilacap. Kasus ini hangat diperbincangkan sebab video yang mempertontonkan korban tengah disiksa beredar luas. Dalam video tampak seorang siswa dianiaya oleh siswa lain dengan cara dipukul dan ditendang. Adegan ini disaksikan beberapa siswa lain dan tidak ada yang melerai.
Kasus serupa juga terjadi di Balikpapan dengan korban siswa SMP. Kekerasan ini dilakukan teman sebaya dengan memukul dan menendang kepala korban. Baik pelaku dan korban disebut baru berusia 13 tahun. Kejadian ini dipicu akibat, korban yang mengirimkan pesan via Instagram ke pacar salah satu pelaku.
Dua contoh kasus kekerasan pada anak dan terjadi di lingkup pendidikan tersebut membuat hati teriris. Nyatanya, kasus perundungan bahkan hingga tindakan yang mengarah pada kekerasan fisik, masih sering terjadi pada anak di sekolah. Kekerasan pada anak yang terjadi di lingkup pendidikan atau ruang publik bisa disebut sebagai fenomena gunung es.
Mengungkap dan membenahi akar kekerasan yang terjadi pada anak, menjadi penting diupayakan oleh segala pihak. Pasalnya, kasus kekerasan pada anak di sekolah saat ini, masih terjadi di semua jenjang pendidikan.
Perlu menjadi sorotan bahwa beberapa kasus kekerasan pada anak di lingkup pendidikan tak lepas dari fenomena ‘geng’ di sekolah. Validasi diri yang salah dan tak terarah justru menjebak anak-anak di lingkup pendidikan tak segan-segan melakukan kekerasan.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini menyatakan, fenomena geng memang sulit dihindarkan di sekolah. Hal ini karena di sekolah, para siswa cenderung berkelompok yang terkadang menyalurkan hobi dan kesamaan.
“Hanya saja kalau sudah melampaui batas kemudian juga terpengaruh oleh faktor yang lain dan berdampak negatif, itu yang kemudian menjadi persoalan,” kata Diyah dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/10/2023).
Misalnya, kata Diyah, ada faktor senioritas dari kakak kelas yang mengajak adik kelasnya masuk ke sebuah geng atau bahkan menginisiasi kelompok baru. Perkumpulan dalam kelompok atau geng ini menjadi masalah ketika akhirnya, menjelma sarana kekerasan atau perilaku negatif lainnya.
Maraknya kasus perundungan dan kekerasan terhadap anak di lingkup pendidikan juga menjadi sorotan KPAI. Mereka menemukan kasus perundungan yang terjadi di sekolah dengan berbagai jenjang, seperti di Jakarta, Cilacap, Demak, Blora, Gresik, Lamongan, dan Balikpapan.
Data pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI hingga Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI.
Diyah merasa khawatir, kasus yang tidak terekspos atau tidak teradukan lebih banyak terjadi. Ia melihat kasus kekerasan terhadap anak belakangan ini hanya sebagai fenomena gunung es.
“Terlihatnya sedikit dan hanya ada di sekitar Pulau Jawa, tapi kalau kita melihat fenomena itu juga jauh banyak, mungkin juga terjadi di daerah-daerah luar pulau. Di daerah-daerah 3T bahkan, dan alat kontrol kita, alat pengawasan kita pun juga terbatas,” jelas Diyah.
Pentingnya Kesehatan Mental Anak
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan seorang anak melakukan kekerasan. Ketiganya adalah faktor internal, eksternal, dan situasional.
Faktor Internal berasal dari dalam diri anak itu sendiri dan lingkungan keluarga atau pengasuhan yang diterima anak dari lingkup terintim. Adapun faktor eksternal, berasal dari luar rumah, misalnya lingkungan sekolah, pergaulan, dan lingkungan masyarakat.
“Termasuk pengaruh dari dunia maya dari penggunaan gadget yang tanpa aturan atau edukasi dan tidak diawasi oleh orangtua atau keluarganya,” ujar Retno dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/10/2023).
Sementara itu, faktor situasional adalah sesuatu yang muncul tak terduga. Misalnya anak menjadi siswa junior dan dipaksa senior untuk ikut tawuran, dan karena takut menolak maka memilih terlibat.
Selain maraknya kasus perundungan, FSGI juga merasa miris dengan banyaknya insiden siswa jatuh atau melompat dari gedung sekolah. FSGI mencatat, sepanjang Januari hingga awal Oktober 2023, ada lima kasus murid sekolah jatuh atau lompat dari gedung sekolah.
Dari lima kasus tersebut, empat korban meninggal dunia. Dan ada dua korban jatuh yang selamat setelah mendapatkan perawatan medis. Selain masih lemahnya keamanan dan pengawasan di satuan pendidikan, Retno menegaskan pentingnya membangun sistem pencegahan masalah kesehatan mental siswa.
“Misalnya melalui kegiatan psikososial kepada para peserta didik, terutama di kelas IX yang memiliki cukup banyak tekanan agar Kesehatan mental anak-anak dapat dipantau,” jelas Retno.
Kesehatan mental, kata dia, sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Sayangnya, mayoritas orang tua di Indonesia kurang memiliki perhatian terhadap kesehatan mental anak. Padahal remaja usia 13-15 tahun cukup rentan mengalami masalah kesehatan mental.
“Dalam hal ini, Dinas Pendidikan dapat bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kolaborasi melalui program rutin merupakan cara memperkuat sistem pencegahan,” terang Retno.
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini menambahkan, masalah kesehatan mental anak juga menjadi salah satu faktor pemicu perilaku kekerasan. Apa yang anak serap dari rumah atau lingkungan keluarga yang melanggengkan kekerasan, akan diimitasi dirinya kepada teman sebaya.
“Saya mengamini itu, karena memang baik anak pelaku, kekerasan bullying itu memang mendapatkan sesuatu dari rumah, membawa dari rumah, baik itu karakter atau kemudian pengasuhannya,” tutur Diyah. (red/tirto)