FANEWS.ID – Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej sementara ini dapat bernapas lega. Pasalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menyatakan gugatan praperadilan tersangka penerima gratifikasi itu diterima sebagian.
Hakim tunggal perkara ini, Estiono, menilai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memiliki alat bukti yang cukup dalam menetapkan bekas Wamenkumham itu sebagai tersangka.
Oleh karena itu, penetapan tersangka Eddy harus dibatalkan. Estiono menimbang, “penetapan tersangka oleh termohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha, menilai putusan hakim Estiono yang membatalkan status tersangka Eddy sebagai suatu yang berbahaya. Dia menyatakan putusan ini dapat menjadi preseden yang mempengaruhi putusan praperadilan lain.
“Perlu adanya upaya mendalam untuk memeriksa proses praperadilan ini sehingga menjadi jelas bagaimana pertimbangan hakim bisa mengarah ke sana,” ujar Praswad kepada reporter Tirto, Jumat (2/2/2024).
Menurut Praswad, pertimbangan hakim pada putusan praperadilan Eddy bertentangan dengan Undang-Undang KPK. Dia menjelaskan, KPK dengan segala keistimewaannya mendorong kehati-hatian penyelidik dan penyidik dalam memproses seseorang menjadi tersangka dengan memberikan beban bukti permulaan yang cukup untuk menaikkan seseorang menjadi tersangka.
“Artinya, berbagai bukti permulaan dikumpulkan pada proses penyelidikan sesuai ketentuan Pasal 44 UU KPK. Menjadi persoalan ketika hakim dalam pertimbangannya mempersoalkan pengumpulan bukti permulaan pada tahap penyelidikan dan bukan penyidikan,” kata Praswad.
Bagaimana mungkin, kata dia, KPK mengumpulkan bukti permulaan pada tahap penyidikan sedangkan standar KPK yakni saat penetapan tersangka sudah harus menyebut nama tersangka pada saat naik pada tahap penyidikan. Apabila logika hakim diterapkan, maka tidak akan pernah ada jalan bagi KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Dalam putusan praperadilan, hakim Estiono menilai, penetapan tersangka terhadap Eddy tidak memenuhi minimum alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, penetapan tersangka dilakukan berdasarkan keterangan para saksi saat penyelidikan. Menurutnya, penyelidikan dalam kasus tersebut belum bernilai pro justisia.
“Bahwa beberapa bukti yang diajukan oleh termohon [KPK] tidak dapat memenuhi unsur dalam peradilan,” tutur Estiono dalam persidangan, Selasa (30/1/2024).
Kuasa Hukum Eddy Hiariej, Muhammad Luthfi Hakim, berterima kasih atas putusan hakim dan berharap KPK berbenah diri untuk memperbarui aturan penetapan tersangka. Dia berpandangan, kelengkapan alat bukti menjadi hal krusial untuk menetapkan tersangka. Sehingga, menurutnya, KPK harus melakukan penyidikan terlebih dahulu sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.
“Ini akan menjadi suatu perubahan yang cukup signifikan bagi KPK ke depan. Kami mengharapkan KPK untuk bersedia merevisi POB-nya yang mana menetapkan seorang tersangka itu setelah proses penyelidikan selesai, tapi belum dimulai dengan proses penyidikan,” ungkap Luthfi usai persidangan.
Lebih lanjut dia menegaskan, ini bukan hanya sebuah kejelasan bagi Eddy Hiariej, melainkan semua pihak ke depan. Sebab, menurutnya, hal itu menjadi keadilan bagi semua pihak.
Luthfi menambahkan, Eddy Hiariej selalu mengikuti persidangan dengan saksama meski tak hadir langsung. Meski demikian, dia belum dapat memastikan apakah akan kembali ke posisi Wamenkumham atau tidak.
Sebelumnya, Eddy diduga menerima suap dan gratifikasi hingga Rp8 miliar dari Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan. Suap itu diterima Eddy diduga menyangkut beberapa perkara seperti sengketa status kepemilikan perusahaan, penghentian proses hukum di Bareskrim Polri, hingga pembukaan blokir di sistem administrasi badan hukum.
Helmut Hermawan sendiri sudah menjadi tersangka dan ditahan. Tersangka lainnya yakni asisten pribadi Yogi Arie Rukmana, dan kuasa hukum PT Citra Lampia Mandiri, Yoshi Andika Mulyadi.
Dijelaskan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, kasus ini berawal ketika ada sengketa internal di PT Citra Lampia Mandiri pada 2019. Kemudian, tersangka mencari konsultan hukum untuk mengurus sengketa tersebut di Kemenkumham. “Sesuai rekomendasi disarankan menunjuk atau meminta bantuan kepada EOSH,” kata Alex dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (7/12/2023).
Menurut Alex, pertemuan pertama Eddy Hiariej dan Helmut Hermawan terjadi di rumah dinas Wamenkumham pada 2022. Pertemuan itu juga dihadiri tersangka lain, Yogi dan Yosi.
Putusan Praperadilan Eddy Janggal
Praswad menyatakan, keputusan Hakim dalam praperadilan Eddy melakukan kesalahan penerapan hukum dan tidak menerapkan asas lex specialis terhadap UU KPK. Bahayanya, seluruh tersangka KPK bisa lepas karena pengumpulan barang bukti dan pemeriksaan saksi di dalam Pasal 44 UU KPK diperintahkan untuk dilakukan dalam proses penyelidikan.
“KY [Komisi Yudisial] dan Badan Pengawas MA perlu mendalami lebih jauh mengenai apa di balik pertimbangan hakim dalam mengabulkan gugatan praperadilan Eddy OS Hiariej dalam putusannya. Hal ini karena hakim seharusnya mengetahui secara baik tahap penyelidikan dan penyidikan berdasarkan UU KPK dengan segala kekhususannya,” ungkap Praswad.
Sementara itu, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, menilai pertimbangan hakim dalam praperadilan Eddy janggal dan cenderung gagal memahami kewenangan KPK.
“Kalau alat bukti hanya didasari hanya pada tahap penyidikan, maka itu menyulitkan KPK yang memang dibekali business process spesifik dalam UU. Tapi KPK tentu harus merespons cepat putusan ini, dan memastikan segera mengoreksi proses penetapan tersangka dalam kacamata hakim,” tutur Castro sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Jumat (2/2/2024).
Castro mendesak KPK memastikan materi perkara segera dibawa ke pengadilan, sebab praperadilan membuat perkara ini hanya terinterupsi pada soal teknis dan prosedural, bukan substansi perkara. “Hanya dengan cara segera melakukan penetapan tersangka baru [pada Eddy], KPK bisa menghindari tuduhan masuk angin,” ungkap Castro. (red/tirto)