*Kasus Difteri, Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Melalui Imunisasi*
Banda Aceh | Dinas Kesehatan Aceh menyatakan kasus difteri di Provinsi Aceh tercatat sebanyak 129 kasus pada 2019, yang mengalami peningkatan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
“Terkait dengan kasus difteri memang kita untuk dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan yang signifikan,” kata Pengelola Program Imunisasi Seksi Surveilans dan Imunisasi (SIM) Dinas Kesehatan Aceh Helmi, dilansir antara.
Helmi menjelaskan, yang menjadi kendala sehingga membuat kasus difteri masih tinggi di provinsi paling barat Indonesia ini ialah sikap masyarakat yang masih belum rajin membawa anak-anaknya untuk diimunisasikan.
Dia mengatakan, kasus difteri ini merupakan penyakit yang dapat dilakukan pencegahan, caranya melalui imunisasi DPT (difteri, pertusis, dan tetanus), yang merupakan program pemerintah melalui Kementerian Kesehatan hingga bermuara ke posyandu.
Beberapa penyakit menular pada anak-anak yang dapat dicegah melalui imunisasi seperti difteri, campak, dan lainnya. Dan saat ini difteri menjadi momok bagi daerah Aceh, dengan komplikasinya yang muncul.
“Kalau masyarakat rajin dan paham tentang pentingnya imunisasi, khususnya imunisasi DPT maka penyakit difteri yang sangat menakutkan itu akan tercegah di Aceh ini,” katanya.
Difteri, merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang paling banyak menginfeksi tenggorokan dan saluran pernafasan atas. Difteri juga memproduksi toksin yang mematikan yang mempengaruhi organ lain.
Infeksi difteri mempunyai efek onset yang cepat dengan karakteristik utama adalah nyeri tenggorokan, panas yang tidak terlalu tinggi maupun bengkak di kelenjar sekitar leher. Efek dari toksin difteri dapat menyebabkan myocarditis dan neuropathy perifer. Toksin difteri juga menyebabkan membran dari jaringan yang mati dekat tenggorokan maupun tonsil, sehingga sulit bernafas dan sulit menelan.
Pada tahun 2018, Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi Aceh tercatat sebagai daerah tertinggi jumlah pasien difteri diantara 13 kabupaten lainnya. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan tujuh pedoman pencegahan dan pengendalian difteri guna menanggulangi KLB difteri.
Dokter puskesmas sebagai lini depan pelayanan primer memiliki peran penting dalam menanggulangi KLB difteri. Selanjutnya beberapa bulan lalu TP PKK Aceh dan TP PKK Kota Banda Aceh berkolaborasi melakukan pemantauan pelaksanaan posyandu dan pemberian imunisasi di posyandu Bungong Jeumpa di Gampong Lampaseh Kota Banda Aceh, senin 3 Mei 2021.
Dyah selaku Ketua TP-PKK Aceh memberikan dorongan untuk orangtua agar membawa anak imunisasi . “Imunisasi terkadang menjadi sebuah momok bagi beberapa diantara kita. Tapi siapa sangka bahwa kedua hal tersebut justru mampu mendekatkan kita dengan orang-orang yang kita sayangi” ujarnya. Sejak pertama kali program vaksinasi diluncurkan pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an,diketahui 50% tingkat kematian menurun. Sebanyak 3 juta kematian anak di seluruh dunia akibat penyakit menular dapat dicegah. Vaksin telah melindungi kita dari berbagai penyakit seperti difteri, polio, pneumonia, kanker serviks, hingga ebola. Mungkin bapak/ibu dan orang yang bapak/ibu sayangi adalah satu dari 50% orang yang terlindungi dari penyakit yang menular dan mengancam kesehatan kita.
Di masa pandemi ini, seharusnya membuat semua tersadar betapa pentingnya orang-orang yang di sayangi. Bagaimana jika kita abai dan menulari keluarga? Tidak ada yang mau bernasib seperti ini tentunya.
“Sudah saatnya kita peduli pada kesehatan kita dan keluarga kita, termasuk anak-anak kita. Jangan sampai kelengahan dan informasi yang salah membuat anak-anak kita menjadi tidak terlindungi. Jika tidak tahu, maka carilah informasi yang benar dan tepat dari sumber yang kompeten, “jelasnya.
Imunisasi adalah sebuah investasi untuk anak. Sebutnya, semua pasti ingin agar anak tumbuh menjadi anak yang saleh dan salehah, sehat, dan mampu mencapai potensi optimalnya. Imunisasi adalah hak anak yang wajib diberikan oleh orangtua.
Setiap anak berhak untuk sehat, di mana pun dia tinggal dan dari status sosial apapun. Terlebih di masa pandemi ini, selain ancaman COVID-19, juga ada ancaman penyakit menular lainnya seperti campak dan difteri. Karena itu sangat penting untuk memberikan imunisasi bagi anak-anak kita.
“Semoga kita selalu terhubung dengan orang-orang dan keluarga terkasih. Jangan sampai sebuah penyakit dapat memisahkan kita dengan mereka. Dan mari kita ingat Kembali, bahwa tidak akan ada Aceh Hebat tanpa anak-anak Aceh yang sehat dan hebat, “jelasnya.
Terakhir Nurmiati mendorong TP-PKK Kecamatan dan Kader Posyandu untuk terus mempromosikan imunisasi bagi anak.
Pekan Imunisasi Dunia tahun ini mengusung tema global “Vaccines Bring Us Closer”, yang diterjemahkan menjadi “Bersatu Membangun Negeri lewat Vaksinasi”.
Diharapkan adanya momen Pekan Imunisasi Dunia yang diperingati setiap minggu ke-4 bulan April ini dapat mengikatkan solidaritas bersama untuk imunisasi, baik imunisasi rutin untuk anak maupun vaksinasi COVID-19, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat (public trust) bahwa imunisasi adalah salah satu intervensi yang efektif, aman, dalam mencegah penyakit.
Pandemi COVID-19 dengan cepat melumpuhkan kegiatan sosial-ekonomi di Indonesia, dan dampaknya akan dirasakan paling keras oleh anak-anak yang paling terpinggirkan di Indonesia. Di sektor kesehatan, akses anak-anak ke layanan kesehatan semakin terbatas, seperti contohnya dengan terganggunyakontrol kesehatan rutin yang berdampak pada anak yang paling terpinggirkan.
Menurut Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi rutin turun hingga 35% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Data Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap Aceh tahun 2020 hanya sebesar 38% dari target RPJMN 93%. Anak-anak berisiko lebih besar terkena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin seperti difteri, campak, dan polio karena gangguan pandemi COVID-19 dalam imunisasi rutin.
Perkiraan awal dampak COVID-19 di Indonesia terhadap kematian anak dan ibu menunjukkan bahwa gangguan pada sistem kesehatan dan berkurangnya akses ke makanan dapat mengakibatkan 30.560 kematian tambahan pada anak di bawah usia lima tahun hanya dalam enam bulan.
Selain itu, data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) cabang Aceh per-tanggal 25 April 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 1283 anak terinfeksi COVID-19 dengan 14 meninggal dunia. Ini menunjukkan bahwa anak juga tidak luput dari ancaman COVID-19, dan saat ini vaksin COVID-19 untuk anak masih dalam tahap penelitian.
Melengkapi imunisasi rutin untuk anak sama pentingnya dengan melakukan vaksinasi COVID-19 pada kelompok prioritas. Pengenalan vaksin COVID-19 dalam skala besar akan menimbulkan tantangan besar bagi sistem kesehatan yang sudah rapuh oleh pandemi. Maka dari itu, diperlukan untuk memastikan dan memperkuat kapasitas sistem kesehatan.
Dengan imunisasi rutin, risiko anak terkena penyakit menular akan lebih rendah, sehingga hal ini juga dapat mengurangi beban bagi pemerintah pusat dan daerah, beban di sistem Kesehatan, dan tentunya beban keluarga.
*Pengendalian Difteri*
Kemudian apabila terdapat kasus Difteri penanganan yang tepat diperlukan untuk mengendalikan persebaran difteri. Penyakit difteri menyebar melalui kontak langsung atau melalui udara, aerosol sekresi dari batuk atau bersin individu yang terinfeksi. Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan berbasis transmisi droplet perlu dilakukan. Rumah sakit juga harus mampu melakukan kesiapan dalam keadaan darurat (emergency preparedness).
Kesiapan keadaan darurat yang perlu disiapkan rumah sakit diantaranya: Pengetahuan petugas, Kapasitas rumah sakit untuk menampung masuknya pasien infeksius secara tiba tiba, Triage pasien, Kecukupan tempat, Ketersediaan ruang isolasi, barrier penahan dan alat pelindung diri, Peralatan dan suplai; instumen, linen, bahan habis pakai, alat makan dan Isu keamanan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota. Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada tahun 1940an, maka secara global pada periode tahun 1980 – 2000 total kasus Difteri menurun lebih dari 90%. Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3 kali, yaitu pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan.
Selanjutnya Imunisasi lanjutan DT dimasukkan kedalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada tahun 1984. Untuk semakin meningkatkan perlindungan terhadap penyakit Difteri, imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib mulai dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin pada usia 18 bulan sejak tahun 2014, dan imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak sekolah dasar.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, dr. Jane Soepardi menjelaskan, difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.
Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae. Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala berupa infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi (kurang dari 38,5º C), dan ditemui adanya pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas, serta berdarah apabila diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan faring.
“Pada keadaan lebih berat, sebutnya, dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak nafas, stridor dan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck). Kematian biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal. Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematian adalah sekitar 50 %, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%, (CDC Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017). Angka kematian Difteri ratarata 5 – 10% pada anak usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40 tahun) (CDC Atlanta, 2016), “jelasnya .
Adapun strategi pencegahan dan pengendalian KLB Difteri diantaranya Penguatan imunisasi rutin Difteri sesuai dengan program imunisasi nasional. Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus Difteri, Semua kasus Difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi, Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit dan dirawat di ruang isolasi, Pengambilan spesimen dari kasus dan kasus kontak erat kemudian dikirim ke laboratorium rujukan Difteri untuk dilakukan pemeriksaan kultur atau PCR, Menghentikan transmisi Difteri dengan pemberian prophilaksis terhadap kontak dan karier, Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) di daerah KLB Difteri. C. IMUNISASI Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap, dengan jadwal pemberian sesuai usia.
Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit Difteri ada 3 macam, yaitu:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri
Kemudian langkah-langkah penagulangan difteri misalanya, Setiap suspek Difteri dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) dan mencari kasus tambahan dan kontak, Dilakukan rujukan segera kasus Difteri ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan, Pemberian profilaksis pada kontak dan karier.
Melaksanakan Outbreak Response Immunization (ORI) sesegera mungkin di lokasi yang terjadi KLB Difteri dengan sasaran sesuai dengan kajian epidemiologi sebanyak tiga putaran dengan interval waktu 0-1-6 bulan tanpa memandang status imunisasi. Meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi rutin Difteri (baik imunisasi dasar maupun lanjutan) agar mencapai minimal 95%.
Edukasi mengenai difteri, berupa penegakkan diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan kepada tenaga kesehatan dan pemerintah daerah, serta bekerjasama dengan media masa untuk melakukan edukasi pada masyarakat mengenai difteri.
Edukasi kepada masyarakat untuk segera ke pelayanan kesehatan bila ada tanda dan gejala nyeri tenggorok, serta menggunakan masker termasuk di tempat umum bila mengalami tanda dan gejala infeksi saluran pernafasan.
Kegiatan imunisasi dalam KLB Difteri antara lain :1. Penguatan imunisasi dasar dan lanjutan untuk mencegah KLB difteri: a. Cakupan imunisasi dasar (DPT3), pada bayi harus mencapai minimal 95% b. Cakupan imunisasi lanjutan usia 18 bulan dan anak sekolah dasar minimal harus mencapai 95%. Melakukan Outbreak Response Immunisation (ORI) tanpa menunggu hasil laboratorium suspek difteri (kasus indeks), dengan sasaran sesuai dengan kajian epidemiologi tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Luas wilayah ORI adalah minimal tingkat Kecamatan dan dilaksanakan. putaran dengan jarak pemberian antara putaran pertama dan kedua 1 bulan, dan antara putaran kedua dan ketiga adalah 6 bulan.
Vaksin yang digunakan adalah: a. anak usia 1 – < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib, b. anak usia 5 -Melakukan Outbreak Response Immunisation (ORI) tanpa menunggu hasil laboratorium suspek difteri (kasus indeks), dengan sasaran sesuai dengan kajian epidemiologi tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Luas wilayah ORI adalah minimal tingkat kecamatan dan dilaksanakan 3 putaran dengan jarak pemberian antara putaran pertama dan kedua 1 bulan, dan antara putaran kedua dan ketiga adalah 6 bulan. Vaksin yang digunakan adalah: a. anak usia 1 – < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib.
“Jika pertimbangan epidemiologi mengharuskan, maka seluruh populasi orang dewasa harus disertakan dalam imunisasi massal. Melakukan Rapid Convenience Assessment (RCA) pada wilayah yang ada kegiatan imunisasi untuk mengetahui validitas cakupan dan tanggapan masyarakat yang masih menolak imunisasi. Memantau kualitas dan manajemen rantai vaksin. Potensi vaksin sangat besar kontribusinya terhadap kualitas pelayanan imunisasi dan terbentuknya kekebalan. Memantau dan membina kompetensi petugas pengelola vaksin maupun koordinator program imunisasi. Kualitas pengelola vaksin dan koordinator program imunisasi yang tidak kualified akan berpengaruh pada kualitas vaksinasinya, “jelasnya.[ADV]