FANEWS.ID – Pemerintah bersikukuh mempercepat pelaksanaan Pilkada 2024. Sinyal tersebut makin jelas ketika Presiden Joko Widodo mengumpulkan sejumlah menteri di Istana Kepresidenan pada Rabu (4/10/2023). Persamuhan ini membicarakan rencana Pilkada 2024, termasuk opsi payung hukum jika pelaksanaannya dipercepat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD usai pertemuan mengatakan, waktu percepatan Pilkada 2024 jatuh pada September. “Tetapi, bentuk hukumnya masih dibahas lagi,” ujar Mahfud kepada wartawan di Istana Kepresidenan.
Pembicaraan mengenai rencana pemerintah mempercepat Pilkada 2024 sebelumnya sudah santer bergulir. Pelaksanaan pilkada serentak telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada Januari 2022, pemerintah, DPR, serta penyelenggara pemilu sudah menyepakati bahwa Pilkada 2024 dilaksanakan pada 27 November 2024.
Belakangan, pemerintah mengusulkan agar Pilkada 2024 dimajukan menjadi September 2024. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sempat menjadi opsi payung hukum untuk memuluskan rencana ini. Namun, penerbitan Perppu ini, tak ayal menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi yang juga mengikuti rapat di Istana Kepresidenan, mengatakan, percepatan Pilkada 2024 tidak akan diatur melalui Perppu. Ia mengklaim, opsi yang akan dipilih pemerintah nanti akan melalui revisi terbatas UU Pilkada.
“Undang-undang saja, revisi terbatas,” kata Budi di Istana Kepresidenan, Rabu (4/10/2023).
Budi menambahkan, hanya ada sembilan poin revisi terbatas UU Pilkada dan hal itu akan dibicarakan setelah masa reses DPR RI pada November 2023.
Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera menyatakan, pertimbangan utama keputusan mempercepat Pilkada 2024, karena khawatir ada kekosongan kepala daerah saat rencana pelantikan serentak pada Januari 2025.
“Dengan pilkada November 2024, pelantikan bisa jadi sebagian di Maret 2025, jika ada sengketa. Bisa terjadi juga kondisi pada Januari 2025 semua kepala daerah adalah Pj (Penjabat),” ujar Mardani dihubungi reporter Tirto, Kamis (5/10/2023).
Dengan dimajukan jadwal pilkada serentak menjadi September 2024, kata Mardani, membuat pelantikan serentak memungkinkan untuk dilakukan pada Januari 2025.
Alasan yang diutarakan Mardani, senada dengan apa yang disampaikan pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dalam agenda Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu, Rabu (20/9/2023).
Saat itu, Tito berujar, pada 1 Januari 2025, akan terdapat 545 daerah yang berpotensi tidak memiliki kepala daerah definitif hasil pilkada, jika pelaksanaan pilkada serentak 2024 tidak dipercepat.
“Maka perlu dipastikan bahwa seyogyanya paling lambat 1 Januari 2025 kepala daerah hasil pilkada serentak 2024 mayoritas harus sudah dilantik,” ujar Tito di Kompleks Parlemen.
Membebani Penyelenggara Pemilu
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita menyampaikan, revisi terbatas Undang-Undang Pilkada adalah langkah hukum yang tepat jika politik hukum kebangsaan mendorong adanya re-desain penyelenggaraan Pilkada 2024.
“Jika dilakukan melalui Perppu, saya tidak melihat adanya urgensi atau kegentingan yang memaksa, dan sejauh ini saya lihat pemerintah dan DPR masih dapat melakukan proses legislasi yang normal,” ujar Paramita dihubungi reporter Tirto, Kamis (5/10/2023).
Jika ditetapkan melalui Perppu, kata dia, maka justru akan mengesankan proses legislasi yang tidak demokratis dan inkonstitusional. Sebab sesuai amanat Konstitusi, pemerintah hanya dapat menerbitkan Perppu jika ada kondisi kegentingan yang memaksa.
Kendati demikian, Paramita menilai, percepatan Pilkada 2024 akan membebankan penyelenggara pemilu. Beban penyelenggara tersebut meliputi kesiapan teknis pelaksanaan pilkada.
“Jika memiliki empati atas potensi yang akan terjadi ketika pilkada dimajukan bagi beban penyelenggara, seharusnya revisi itu tidak perlu dilakukan,” ujar Paramita.
Ia menambahkan, jika Pilkada 2024 dimajukan, maka akan berdampak pada proses pengaturan ulang atau penataan kembali manajemen pelaksanaan pemilu dan pilkada yang akan beririsan di 2024.
“Pemerintah sebaiknya fokus menyukseskan pemilu dan pilkada tanpa perlu merombak regulasi yang tidak urgen dan menyisakan kegelisahan serta catatan publik, khususnya terhadap beban penyelenggara,” tegas Paramita.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati meminta agar pemerintah menjelaskan urgensi revisi terbatas UU Pilkada kepada publik, terkait rencana percepatan Pilkada 2024. Nisa menyatakan, pemerintah dan DPR sempat memutuskan untuk tidak merevisi UU Pilkada dengan alasan ketentuan yang ada belum semuanya dijalankan.
“Sehingga kalau sekarang baru mau direvisi, tentu menjadi pertanyaan apa urgensinya?” kata Nisa dihubungi reporter Tirto, Kamis (5/10/2023).
Selain itu, permasalahan bisa muncul dari kepastian anggaran pelaksanaan pilkada. Menurut Nisa, jika pilkada menjadi September 2024, artinya Oktober 2023 tahapan anggarannya harus sudah dimulai.
Nisa menyatakan, percepatan jadwal Pilkada 2024 akan berdampak pada himpitan tahapan pemilu. Di satu sisi, KPU dan KPUD sedang mempersiapkan penetapan daftar calon tetap (DCT) dan bersiap untuk tahap kampanye, tapi di sisi yang lain, mereka juga harus bersiap untuk mulai tahapan pilkada.
“Kalau belum ada kepastian anggaran, maka akan sulit penyelenggara pemilu mempersiapkan tahapannya. Apalagi jika telat anggarannya, maka nanti tahapannya bisa semakin bertumpuk juga,” ungkap Nisa.(sumber :tirto)