FANEWS.ID – Pemerintah sepakat akan membahas lebih lanjut rencana pemberian grasi massal bagi napi kasus narkoba. Rencana ini sebagai tindak lanjut atas rekomendasi tim percepatan reformasi hukum yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD.
Pertengahan September 2023, tim percepatan reformasi hukum merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo agar memberikan grasi massal untuk Napi Narkoba. Mahfud sebut, rencana ini sedang dikoordinasikan di tingkat Kemenkopolhukam. Mahfud bilang belum ada pembahasan di tingkat kabinet.
“Pemberian grasi massal itu tentu harus didiskusikan juga dengan Mahkamah Agung. Itu sedang kami rancang sekarang,” kata Mahfud MD di Kompleks Istana Kepresidenan.
Mahfud menjelaskan, mayoritas pihak yang menjadi korban pelanggaran narkotika adalah para pengguna. Hal ini, kata dia, membuat kapasitas lembaga pemasyarakatan menjadi sangat padat (overcrowded).
Untuk pelanggaran narkotika yang dilakukan oleh para pengedar, bandar, dan sebagainya, kata Mahfud, akan ada rencana lebih lanjut yang sedang dirancang oleh Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga telah menyiapkan penjara atau lembaga pemasyarakatan dengan pengamanan super. “Lapas super security yang nanti, insyaallah akan ditinjau oleh presiden untuk peresmiannya, mungkin di Nusa Kambangan,” kata Mahfud.
“Pemberian grasi massal itu tentu harus didiskusikan juga dengan Mahkamah Agung. Itu sedang kami rancang sekarang,” kata Mahfud MD.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, mengapresiasi rencana pemerintah yang akan melakukan grasi massal bagi para pengguna narkoba. Namun, kata Arif, grasi massal ini belum menyentuh akar permasalahan yang menyebabkan pengguna narkoba ditahan dan dipidana hingga akhirnya mendekam di lapas.
“Tidak menjawab overcrowded lapas soal narkotika. Bahkan Mahfud sendiri bilang penyebabnya (seseorang ditangkap pelanggaran narkotika) sangat banyak. Karena dijebak teman dan kriminalisasi oleh aparat nakal misalnya,” ujar Arif .
Menurut Arif, yang menjadi akar permasalahan adalah adanya sejumlah pasal karet di UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini membuat tidak ada jaminan bagi pengguna narkoba tidak dikriminalisasi dan pecandu mendapatkan jaminan rehabilitasi.
“Pasal karet itu justru banyak membuat pengguna dikriminalisasi bukan direhabilitasi. Pemerintah juga harus membenahi dan mereformasi hukum, utamanya di UU narkotika yang masih mempidanakan korban itu bisa direvisi,” tegas Arif.
Padahal, pendekatan kesehatan bagi pengguna narkoba sudah tercantum dalam UU Narkotika. Namun dengan pendekatan perang terhadap narkotika, tindakan pemidanaan lebih cenderung dipilih oleh penegak hukum.
Riset LBH Masyarakat (2014) menunjukkan, pengguna narkotika yang dijatuhi dengan vonis rehabilitasi kurang dari 30%. Sementara riset ICJR, Rumah Cemara dan EJA pada 2015 di PN Surabaya, menyatakan hanya 6% putusan hakim yang menempatkan pengguna narkoba ke tempat rehabilitasi.
Arif menambahkan, sistem rehabilitasi pengguna narkoba juga perlu dibenahi. Sebab, masih ditemukan penanganan rehabilitasi yang memunculkan diskriminasi terhadap masyarakat umum dibanding pesohor dan orang-orang berduit.
Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) pada April 2022 melaporkan, jumlah warga binaan pemasyarakatan di Indonesia sebanyak 273.822 orang. Dari jumlah itu, 135.758 WBP di antaranya adalah kasus narkoba dengan rincian terdiri dari 120.042 pengguna dan 15.176 bandar, pengedar, penadah, atau produsen narkoba.(sumber: tirto))