FANEWS.ID | KOTA JANTHO – – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Besar melalui Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Besar Arifin, SH.I, M.Si dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Ridwan Jamil, S.Sos, M.Si bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia melalui Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Jalin Kerjasama sosialisasi penanaman vegetasi pantai untuk mitigasi Tsunami di Kecamatan Lhoong, Rabu (21/6/2023).
Penjabat (Pj) Bupati Aceh Besar Muhammad Iswanto S.STP, MM melalui Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Besar Arifin, SH.I, M.Si mengatakan, Indonesia termasuk daerah rawan gempa bumi, karena dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu, lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Berdasarkan Indeks Resiko Bencana (IRBI) tahun 2021 dari 327 kabupaten/kota pesisir terdapat 262 kabupaten/kota yang berpotensi terhadap ancaman tsunami di Indonesia dengan rincian tinggi 176 kabupaten/kota, sedang 61 kabupaten/kota, rendah 25 kabupaten/kota dan tidak berpotensi 65 kabupaten/kota.
“Jadi kita Provinsi Aceh dan Aceh Besar secara khusus juga termasuk daerah rawan bencana gempa bumi, untuk mengantisipasi dampak dari gempa bumi yaitu tsunami, Kabupaten Aceh Besar harus memiliki vegetasi pantai,” ujarnya.
Vegetasi pantai menurut Arifin yaitu Kabupaten Aceh Besar harus mempunyai konsep dasar untuk pelindung pantai dengan cara mereduksi kekuatan gelombang, menahan sendimen, dan menahan puing, dan kawasan hutan juga diperlukan struktur undakan agar pengakaran pohon hutan pantai lebih kuat dengan ketinggian disesuaikan dengan kondisi daerah.
“Untuk mencegah atau mengantisipasi terjadi bencana, kita Aceh Besar harus memiliki konsep setidaknya kita mempunyai pelindung pantai dan struktur undakan, agar pengakaran pohon pantai lebih kuat dengan ketinggian yang harus disesuaikan dengan kondisi daerah kita,” ungkapnya.
Arifin menjelaskan, kriteria Lahan calon lokasi penanaman vegetasi pantai merupakan lahan yang status kepemilikannya merupakan milik pemerintah atau milik masyarakat yang dibuktikan dengan sertifikat atau surat pernyataan dari kepala desa/keuchik dan diserahterimakan untuk pelaksanaan kegiatan vegetasi pantai.
“Kawasan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang statusnya dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dan bukan merupakan kawasan hutan. Lahan tersebut di atas tidak akan diperjualbelikan, digadaikan, tidak terkena proyek, tidak dalam keadaan sengketa, dan bebas dari segala perikatan,” jelasnya.
Arifin menambahkan, untuk kriteria lahan calon lokasi penanaman vegetasi pantai juga harus memiliki kelayakan lokasi (substrat, asset yang dilindungi, kondisi lingkungan sekitar, kondisi pasang tertinggi, sumber air tawar, hewan ternak), kelayakan sosial (kelompok masyarakat, dukungan pemerintah gampong, konflik sosial), peranan pemkab (dukungan pemerintah kabupaten dalam pelaksanaan dan pemeliharaan paska penanaman, peran penyuluh perikanan) dan kondisi bantuan yang pernah diberikan sebelumnya. “Karena fungsi utama vegetasi pantai sebagai greenbelt (jalur hijau) tsunami tidak boleh terganggu,” tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Ridwan Jamil, S.Sos, M.Si, Provinsi Aceh merupakan daerah rawan bencana yang disebabkan oleh alam maupun manusia, letak geografis Aceh pada jalur lempeng tektonik dua samudera berpotensi terhadap gempa dan tsunami.
“Pada saat bencana tsunami Aceh tahun 2004 silam, 80 % kawasan pesisir pantai mengalami kerusakan dan kondisi saat itu berdasarkan data yang ada cuma 8 % pesisir pantai Aceh yang ditumbuhi oleh vegetasi pantai dan mangrove,” ujarnya.
Ridwan menambahkan bahwa fakta tersebut merupakan salah satu yang menyebabkan parahnya kerusakan disepanjang pantai karena tidak adanya buffer penahan. “Ironisnya data Bappenas mencatat ada 3 juta penanaman bibit cegetasi pantai dan mangrove disepanjang pesisir Aceh selama 5 tahun masa rehab rekon tetapi Cuma 40 % yang berhasil bertahan,” sebutnya.
Karena menurut Ridwan dengan kondisi Aceh saat ini, pertumbuhan lahan tambak sebagai spot ekonomi sangat pesat dengan komoditi unggulan udang vanamei tercatat lebih 50.000 Ha tambak Budidaya dengan jumlah produksi lebih 130.000 ton/tahun yang menyebabkan deforestasi alih fungsi hutan mangrove dan sepadan pantai mencapai 900 ha/tahun.
Ridwan menjelaskan apabila hal tersebut tidak kelola dengan baik, maka akan menjadi ancaman nyata bagi habitat mangrove dan vegetasi pantai. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Aceh untuk mitigasi kawasan pesisir dan laut diantaranya
penyusunan zonasi tata ruang pesisir dan laut dengan mempertimbangkan mitigasi, penyusunan rencana penanggulangan bencana Aceh setiap 2 tahun sekali berdasarakan kebutuhan mitigasi dan program penguatan masyarakat tangguh bencana.
“Melalui kegiatan hari ini diharapkan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mitigasi bencana, meningkatnya kualitas lingkungan hidup, berkurangnya resiko kerusakan pesisir dengan vegetasi pantai sebagai green belt bencana tsunami,” pungkasnya.
Selain Kadis Kelautan dan Perikanan Aceh Besar Arifin, SHI, M.Si dan Kalaksa BPBD Aceh Besar Ridwan Jamil, S.Sos M.Si yang menjadi pemateri, ada juga pemateri dari Perwakilan Direktorat P4K Sarifah dan Oni Kandi dari DKP Aceh.(**)
sumber: acehbesarkab.go.id